ARTIKEL
Oktober 2023
Tragedi Negara Kesejahteraan
Tom G. Palmer
Wakil Presiden Eksekutif Atlas Network
Negara kesejahteraan memiliki kesamaan dengan penangkapan ikan. Jika tidak ada pihak yang memiliki dan bertanggung jawab atas ikan di danau, tetapi orang dianggap memiliki semua ikan yang dapat dia tangkap dan tarik keluar dari danau, maka setiap orang akan berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Setiap orang beralasan bahwa “jika bukan saya yang menangkap ikan, orang lain yang akan melakukannya.” Masing-masing dari kita mungkin tahu bahwa menangkap banyak ikan sekarang berarti akan membuat danau kehabisan ikan. Namun, selama ada orang lain yang dapat menangkap apa pun yang tidak saya tangkap, tak ada dari kita yang memiliki insentif untuk membatasi penangkap an ikan dan membiarkan populasi ikan bertambah dengan sendirinya.1 Ikan ditangkap lebih cepat daripada mereka bisa berkembang biak; ikan habis dikuras dari air; dan akhirnya semua orang menjadi lebih buruk keadaannya.
Ahli lingkungan, ekonom, dan ilmuwan politik menyebutnya “tragedi milik bersama” (tragedy of the commons). Ini adalah sebuah masalah yang serius dan akar dari banyak krisis lingkungan yang dihadapi dunia saat ini, mulai dari berkurangnya perikanan laut hingga polusi udara dan air serta masalah lainnya. Tapi itu tidak terbatas pada masalah lingkungan. Negara-negara kesejahteraan juga beroperasi seperti milik bersama, dan tragedi itu terungkap saat Anda membaca ini. Di negara-negara kesejahteraan modern, setiap orang memiliki insentif untuk bertindak seperti nelayan yang tidak bertanggung jawab yang menangkap ikan di danau, kecuali bahwa sumber daya yang kita jarah adalah kita satu sama lain. Setiap orang berusaha mendapatkan sebanyak mungkin dari tetangganya, tetapi pada saat yang sama tetangganya itu berusaha mendapatkan sebanyak mungkin darinya. Negara kesejahteraan melembagakan apa yang ekonom Perancis Frédéric Bastiat sebut sebagai “penjarahan timbal balik.”2
Karena kita dapat menjarah satu sama lain, orang beralasan, “jika saya tidak mendapatkan subsidi pemerintah tersebut, orang lain akan mendapatkannya,” dan masing-masing orang memiliki insentif untuk mengeksploitasi sumber daya sampai habis. Mereka membenarkan pengambilan dana pemerintah atas alasan bahwa mereka “hanya mendapatkan kembali apa yang mereka bayarkan dalam bentuk pajak,” bahkan ketika sebagian dari mereka menda patkan lebih banyak daripada yang pernah diambil dari mereka. Setiap orang memiliki insentif untuk mengambil. Tragedi ini me miliki dimensi yang tidak ada dalam kasus perikanan yang habis terkuras: karena kita saling menjarah, kita tidak hanya menghabis kan sumber daya untuk menjarah tetangga kita, tetapi juga meng habiskan sumber daya untuk menghindari dijarah oleh tetangga yang sama, yang membuat keadaan kita semakin buruk. Tidak hanya kita dirampok, tetapi kita semakin dirampok melampaui semua tingkat yang dapat ditanggung. Hasilnya adalah kelelahan. Kesanalah tujuan kita sekarang dengan negara kesejahteraan:
Pemerintah telah menjanjikan begitu banyak manfaat bagi begitu banyak konstituen, semuanya dengan mengorbankan satu sama lain, sehingga sistemnya tidak berkelanjutan, tetapi tidak ada penerima yang mau menyerahkan manfaatnya. Kita mung kin melakukannya dengan imbalan pajak yang lebih rendah, tetapi kita bahkan tidak mendapatkan pilihan itu. Pemerintah dapat meminjam uang dan menunda pajak sampai nanti, yaitu sampai setelah pemilu berikutnya, ketika mereka akan men janjikan lebih banyak hal lagi, untuk dibiayai dengan lebih banyak pinjaman.
Para pensiunan menuntut kenaikan pembayaran uang pensiun negara dan berpendapat bahwa itu hanya pengembalian atas apa yang dibayarkan. Dana pensiun itu dibiayai dengan dasar “PAYGO” (“Pay-As-You-Go”), yang berarti bahwa pajak yang diambil dari pekerja saat ini dibayarkan kepada penerima saat ini. Setiap kelebihan pajak atas pengeluaran hanya "diinvestasikan" dalam obligasi pemerintah, yaitu janji untuk membayar pajak di masa depan. Itulah “Dana Perwalian Jaminan Sosial” pemerintah Amerika Serikat: Sebuah “IOU” (I owe you, saya berutang padamu) yang besar “terletak di laci terbawah dari lemari arsip pemerintah yang biasa-biasa saja.”3 Benar-benar tidak ada “Dana Perwalian.” Ini penipuan besar. Kaum muda saat ini dipaksa untuk membayar pensiun kakek-nenek dan orang tua mereka, dan—jika mereka memiliki sisa uang—me reka harus membiayai mereka sendiri. Dalam strukturnya, ske ma pensiun negara tak dapat dibedakan dari "skema piramida" klasik, juga dikenal sebagai “skema Ponzi” atau “Surat Berantai”. Skema ini mengharuskan basis orang yang membayar meningkat tanpa batas; ketika basisnya berhenti tumbuh, piramida runtuh. Pemerintah dapat menunda hal yang tak terelak kan itu dengan mencetak uang atau dengan meminjam uang, tetapi itu hanya penundaan, dan dengan setiap penundaan, situasinya menjadi lebih buruk. Anda bisa mendengar gemuruh kehancuran sekarang.
Petani menuntut subsidi untuk tanamannya, yang bersumber dari pengorbanan pekerja otomotif yang membayar pajak; Perusahaan otomotif dan pekerja otomotif menuntut “perlindu ngan” dari kendaraan impor yang harganya lebih terjangkau, serta dana talangan untuk perusahaan yang gagal. Pembatasan perdagangan menaikkan harga kendaraan untuk petani dan dana talangan untuk perusahaan menaikkan pajak yang dibayar oleh petani. Pekerja otomotif dijarah untuk keuntungan petani, dan petani dijarah untuk keuntungan pekerja otomotif. Siklus penjarahan timbal balik berputar-putar, dengan sebagian besar “pemenang” menjadi pecundang setelah siklus selesai (Beberapa perusahaan, tentu, yang berspesialisasi dalam memanipulasi sistem politik dan menegosiasikan apa yang Ayn Rand sebut sebagai “aristokrasi tarikan” (aristocracy of pull)4 lebih banyak menang daripada kalah. Perusahaan-perusahaan Wall Street yang terhubung secara politik seperti Goldman Sachs, perusahaan pertanian besar seperti Archer Daniels Midland, dan lainnya mendapat untung besar dari aristokrasi tarikan).
Kita dikotak-kotakkan oleh sistem pajak ke dalam sistem “asuransi” medis (di Amerika Serikat pembayaran untuk asuransi swasta dikaitkan dengan upah, sedangkan pajak upah membiayai “Medicare”, dan di Eropa sistem itu terkait dengan pajak dan dalam beberapa kasus dengan perusahaan asuransi swasta); “pembiayaan pihak ketiga” ini memengaruhi pilihan yang tersedia bagi kita. Karena “asuransi” prabayar semacam itu biasanya membayar untuk perawatan rutin, serta peristiwa bencana (seperti cedera akibat kecelakaan mobil, didiagnosis menderita kanker, atau jatuh sakit), kita harus meminta izin dari perusahaan asuransi, swasta maupun negara, sebelum kita berobat. Sering kali “asuransi kesehatan” sebenarnya bukanlah “asuransi”, meskipun disebut demikian; itu adalah perawatan medis prabayar, yang menciptakan insentif pada konsumen untuk menggunakannya secara berlebihan, dan insentif pada perusahaan asuransi dan pemerintah untuk memantau konsumen dan menentukan apakah kita memenuhi syarat untuk mendapatkan tunjangan. Sebagai konsumen kita tidak dapat menggunakan pilihan-pilihan yang sama seperti ketika kita menjadi pelanggan dalam barang-barang penting lainnya. Kita dipaksa untuk bertindak seperti pemohon, bukan pelanggan, dan perawatan medis semakin dijatah oleh administrator, dari pada dibeli oleh pelanggan.
Manfaat yang terkonsentrasi untuk kelompok-kelompok ter tentu yang teridentifikasi, dan biaya tersebar di sejumlah besar pembayar pajak dan konsumen, memberikan insentif kepada penerima manfaat untuk menjarah lebih banyak, sedangkan yang dijarah memiliki sedikit insentif untuk membela kepentingan mereka. Setiap orang menganggap dirinya beruntung ketika mendapatkan manfaat, tetapi tidak berhenti untuk memikirkan biaya manfaat tersebut bagi orang lain; ketika semua orang bertindak seperti itu, biayanya menjadi sangat besar. Orang miskin menderita yang terburuk, karena secuil keuntungan mungkin tampak seperti anugerah bagi mereka, ketika kemiskinan mereka diabadikan oleh negara kesejahteraan dan diperdalam oleh transfer tersembunyi dari yang tidak berdaya kepada yang kuat. Penyebabnya adalah proteksionisme, pembatasan perizinan, pembatasan pembatasan lain atas kebebasan pasar tenaga kerja, dan semua hak istimewa dan kesepakatan khusus lainnya, yang diciptakan oleh mereka yang berkuasa, berpendidikan, pandai berbicara, dan berdaya untuk diri mereka sendiri dengan mengorbankan mereka yang lemah, tak berpendidikan, tak bersuara, dan tak berdaya.
Para imigran secara sistematis dijelekkan sebagai “ke sini untuk mendapatkan manfaat kesejahteraan kita”. Alih-alih menyambut orang untuk datang dan menghasilkan kekayaan, subyek negara kesejahteraan bertindak untuk melindungi “manfaat kesejahteraan mereka” dengan mengecualikan calon imigran dan menjelekkan mereka sebagai belalang hama dan penjarah.5 Sementara itu, elit politik dengan lantang menyatakan bahwa mereka membantu orang miskin di luar negeri dengan menggunakan uang yang diambil dari pembayar pajak untuk mendanai “industri bantuan” internasional yang parasitik, membuang surplus pertanian dalam jumlah besar yang dihasilkan kebijakan-kebijakan negara kesejahteraan (untuk mensubsidi petani dengan menjamin harga dasar produk mereka), dan menyerahkan jarahan kepada pemerintah-pemerintah otokratis: singkatnya, dengan menginternasionalkan negara kesejahteraan. Seluruh proses itu telah menjadi bencana; ia telah menggerogoti akuntabilitas demokrasi di negara negara berkembang, karena para pemimpin politik tahu bahwa para pemberi bantuan asinglah yang harus diperhatikan, bukan warga negara lokal dan pembayar pajak; itu telah memicu warlordism dan perang saudara; dan telah menghancurkan institusi institusi produktif pribumi.6
Sementara warga negara diatur melawan sesama warga negara dan imigran dalam sistem besar penjarahan bersama (dan pertahanan untuk melawan penjarahan), birokrasi memperluas kendali mereka dan menciptakan dan memelihara konstituen politik yang menopang mereka. Tetapi, saling menjarah bukanlah satu-satunya ciri yang menonjol dari negara kesejahteraan modern. Negara kesejahteraan telah menciptakan satu krisis di atas krisis yang lain. Setiap krisis adalah akibat yang tak diinginkan dari kebijakan bo doh yang diadopsi karena alasan politik oleh politisi yang tidak harus menanggung konsekuensi dari kebijakan mereka. Dua krisis sedang mencengkeram dunia saat saya menulis ini.
Krisis Keuangan dan Negara Kesejahteraan
Krisis keuangan muncul di persimpangan antara motivasi manu sia dan insentif yang buruk. Insentif itu diciptakan oleh kebijakan kebijakan bodoh, yang semuanya dapat ditelusuri ke filosofi bahwa tujuan pemerintah adalah untuk mengontrol perilaku kita, mengambil dari Peter untuk diberikan kepada Paul, dan merebut tanggung jawab atas hidup kita.7 Benih-benih krisis saat ini ditanam pada 1994 ketika pemerintah Amerika Serikat mengumumkan rencana muluk untuk menaikkan tingkat kepemilikan rumah di Amerika Serikat dari 64 persen menjadi 70 persen populasi.
Rencana tersebut diwujudkan melalui “Kemitraan Nasional dalam Kepemilikan Rumah”, yaitu sebuah kemitraan antara pemerintah federal dan perbankan, pembangun rumah, pemodal, agen real estat, dan pihak-pihak dengan kepentingan khusus yang lain. Seperti yang didokumentasikan Gretchen Morgenson dan Joshua Rosner dalam Reckless Endangerment: How Outsized Ambition, Greed, and Corruption Lead to Economic Armageddon, “Kemitraan ini akan mencapai tujuannya dengan ‘menjadikan kepemilikan rumah lebih terjangkau, memperluas pembiayaan kreatif, menyederhanakan proses pembelian rumah, mengurangi biaya transaksi, mengubah metode desain konvensional dan membangun rumah yang lebih murah, di antara cara-cara lain.’”8 Perluasan negara kesejahteraan itu tampaknya terdengar begitu masuk akal bagi banyak orang. Mengapa orang tidak boleh memiliki rumah sendiri hanya karena mereka belum menabung untuk uang muka? Atau tidak memiliki catatan kredit yang baik? Atau tidak memiliki pekerjaan?
Mengapa tidak menjadikan kepemilikan rumah “lebih terjangkau” melalui “pembiayaan kreatif”? Instansi-instansi pemerintah, seperti Administrasi Perumahan Federal (Federal Housing Admi nistration, FHA), dan “perusahaan-perusahaan yang disponsori pemerintah,” seperti Asosiasi Hipotek Nasional Federal (“Fannie Mae”), diarahkan untuk mengubah penyewa menjadi pemilik dengan menurunkan tingkat uang muka, secara drastis menurunkan standar pinjaman perbankan, meningkatkan jumlah uang yang masuk ke pasar dalam negeri melalui pembelian dan "sekuritisasi" lebih banyak hipotek, dan sejumlah tindakan lainnya. Rekayasa sosial ini bersifat bipartisan. Administrasi Perumahan Federal pemerintahan Bush menawarkan jaminan pinjaman hipotek dengan tingkat uang muka nol persen. Pada 2024, Alphonso Jackson, pen jabat sekretaris Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan, mengatakan, “Menawarkan hipotek FHA tanpa uang muka akan membuka pintu kepemilikan rumah bagi ratusan ribu keluarga Amerika, khususnya minoritas.” Dia menambahkan, “Kita ti dak mengantisipasi adanya biaya untuk pembayar pajak.”9
Pemerintah Amerika Serikat dengan sengaja dan sistematis menggerogoti standar perbankan tradisional dan mendorong— sebenarnya, menuntut—pinjaman yang semakin berisiko. Risiko yang ternyata baik akan menghasilkan keuntungan pribadi, dan risiko yang ternyata buruk akan menimpa pembayar pajak, karena “seorang bankir yang dihadapkan dengan persyaratan baru yang longgar ini dapat mengalihkan pinjaman berisiko apa pun kepada perusahaan yang disponsori pemerintah, yang bertanggung jawab untuk membiayai hipotek rumah untuk jutaan orang Amerika.”10 Keuntungan untuk pribadi dan kerugian yang disebarkan secara sosial menjadi ciri persimpangan paham negara kesejahteraan (welfare statism) dan kronisme.
Harga rumah terus naik karena semakin banyak uang dipompa ke perumahan. Itu seperti sebuah pesta. Semua orang merasa lebih kaya, karena harga rumah mereka meroket. Orang-orang meng ambil “hipotek dengan tingkat yang dapat disesuaikan” untuk membeli rumah lebih besar dari yang mampu mereka beli, karena mereka berharap untuk menjualnya sebelum suku bunga naik lagi. Mendapatkan kredit adalah hal yang mudah dan orang Amerika mengambil hipotek kedua untuk membiayai liburan dan membeli kapal. Semakin banyak rumah dibangun untuk mengantisipasi harga yang terus naik. Hasilnya adalah gelembung perumahan yang sangat besar. Orang-orang membeli rumah untuk “dilepas”, untuk dijual ke pembeli berikutnya. Sementara itu, para regulator keuangan pemerintah di seluruh dunia menilai pinjaman yang se betulnya berisiko tinggi sebagai berisiko rendah, termasuk utang pemerintah (obligasi) dan sekuritas yang didukung hipotek.11 Bank-bank Jerman membeli utang pemerintah Yunani dan bank bank di Amerika Serikat dan di seluruh dunia membeli sekuritas berbasis hipotek yang menurut mereka dijamin oleh pemerintah Amerika Serikat.
Kebijakan intervensi pemerintah Amerika Serikat untuk membuat kepemilikan rumah lebih terjangkau, memperluas “pembiayaan kreatif,” dan menghancurkan praktik perbankan yang sehat tersebut dilengkapi dengan arogansi regulator keuangan pemerintah global, yang yakin bahwa mereka mengetahui besarnya risiko yang sebenarnya—sementara pelaku pasar yang mempertaruhkan dana mereka sendiri tidak mengetahuinya. Hasilnya adalah sistem keuangan global diracuni dengan pinjaman berisiko, kredit macet, dan aset beracun, dengan hasil yang menghancurkan. Gagal bayar hipotek meningkat karena suku bunga naik, dan sekuritas berbasis hipotek “berisiko rendah” yang didorong untuk dibeli lembaga lembaga keuangan tidak benar-benar berisiko rendah. Tabungan habis, para pemilik rumah mendapati diri mereka tidak mampu membayar hipotek, lembaga-lembaga keuangan ambruk dan ter bakar, dan hasil ekonomi turun. Ada banyak distorsi insentif yang disebabkan seluruh sistem intervensi di pasar perumahan dan keuangan yang harus disalahkan, tetapi tanpa kebijakan negara kesejahteraan Amerika untuk “membuat perumahan lebih terjang kau” dan “pembiayaan kreatif”, krisis keuangan tidak akan terjadi. Kecelakaan keuangan global adalah hasil dari sebuah kebijakan buruk yang ditumpuk di atas kebijakan buruk yang lain, sebuah kecelakaan kereta api yang digerakkan negara kesejahteraan.12
Krisis Utang dan Negara Kesejahteraan
Sementara pemerintah di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa dengan panik memompa gelembung perumahan raksasa, ledakan pengeluaran untuk program negara kesejahteraan untuk dana pensiun, perawatan medis, dan banyak program lainnya telah menjerumuskan pemerintah dunia ke dalam krisis utang. Banyak perhatian telah difokuskan pada peningkatan besar dalam utang pemerintah, dan itu memang mengejutkan. Pada saat yang sama, angka-angka utang tersebut kecil jika dibandingkan dengan tumpukan kewajiban yang tidak didanai, yaitu janji-janji yang telah dibuat kepada warga negara dan mereka andalkan, yang tidak ada pembiayaan yang sesuai. Jika sebuah perusahaan swasta menyesatkan publik dan prinsipal tentang besarnya kewajibannya, seperti yang dilakukan pemerintah secara sistematis, pejabat perusahaan tersebut akan dipenjara karena penipuan. Pemerintah berhasil menghindari praktik akuntansi yang sehat dan dengan sengaja dan sistematis menyesatkan publik tentang kewajiban yang mereka bebankan ke pundak pembayar pajak di masa depan. Pemerintah merasa mudah untuk berjanji hari ini untuk membayar uang di masa depan. Tapi masa depan tiba dengan sangat cepat.
Pada 2006, ekonom Jagadeesh Gokhale dan Kent Smetts menghitung (agak konservatif) bahwa total ketakseimbangan anggaran federal pemerintah Amerika Serikat akan menjadi sekitar $80 triliun pada 2012. Ketakseimbangan anggaran didefinisikan sebagai “selisih nilai sekarang antara proyeksi belanja pemerintah di bawah undang-undang berjalan untuk semua kategori pengeluaran—hak-hak, pertahanan, jalan raya, dan lainnya—dan proyeksi penerimaan dalam bentuk pajak di seluruh akun pendapatan.”13 Itu terjadi pada 2006; Gokhale saat ini memperbarui angka, yang dia perkirakan akan lebih tinggi. Seperti yang ditulis Gokhale, “Tambahkan kemungkinan kenaikan biaya perawatan kesehatan yang terkait dengan undang-undang perawatan kesehatan yang baru dan angka ini mungkin terlalu optimis, tetapi kita tidak akan tahu sampai proyek saya hampir selesai. Untuk Eropa, saya memperkirakan ketidakseimbangan keseluruhan sebesar €53,1 triliun pada 2010. Artinya, 434 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan gabungan dari 27 negara Uni Eropa sebesar €12,2 triliun. Itu juga merupakan perkiraan yang terlalu rendah karena proyeksi dibuat hanya sampai tahun 2050 (tidak seperti proyeksi Amerika Serikat, yang berlangsung selamanya).”14
Itu berarti bahwa janji-janji itu tidak dapat dipenuhi dan tidak akan dipenuhi. Pajak harus naik ke tingkat astronomi untuk mendanai bahkan sebagian kecil dari janji saat ini. Pemerintah jauh lebih mungkin tidak hanya gagal membayar utang yang diakui (obligasi yang dipegang oleh kreditur), tetapi juga melanggar janji yang dibuat kepada warga negara untuk pensiun, perawatan kesehatan, dan manfaat-manfaat lainnya. Mereka telah membohongi warganya selama bertahun-tahun tentang keuangan mereka dan kebohongan itu dibuat eksplisit ketika janji-janji dilanggar karena tidak bisa dipenuhi, seperti yang kita lihat berlangsung di depan mata kita di Yunani. Salah satu cara pemerintah untuk mengingkari janji adalah dengan menyalakan mesin cetak dan membayar janji-janji itu dengan setumpuk uang kertas, dengan lebih dan lebih banyak nol ditambahkan ke setiap catatan, yang berarti mata uang untuk menebus janji tersebut akan didevaluasi secara dramatis (Inflasi sangat berbahaya sebagai cara untuk mengatasi utang, karena mendistorsi perilaku dan secara tidak proporsional menimpa kalangan miskin dan mereka yang tidak mampu melindungi diri darinya). Negara-negara kesejahteraan yang kita kenal mungkin runtuh dalam gerak lambat di beberapa negara, dengan cepat di tempat lain, tetapi semuanya runtuh dan, seperti biasa, beban akan jatuh terutama pada mereka yang tidak memiliki koneksi politik dan kecanggihan untuk menghindari akibatnya.
Banyak orang dengan marah menanggapi fakta-fakta tersebut dengan mengutip niat mereka, tanpa menghiraukan konsekuensinya. “Tujuan kita adalah untuk membantu orang; kita tidak bermaksud menghancurkan sistem keuangan dunia dengan mengintervensi pasar untuk membuat perumahan lebih terjangkau dan menurunkan standar perbankan, kita juga tidak bermaksud untuk membuat negara kita bangkrut!” kata mereka. Seperti dengan tepat dicatat filsuf Daniel Shapiro, "Lembaga tidak dapat secara me madai dicirikan oleh tujuan mereka."15 Tujuan terbaik di dunia, jika digabungkan dengan insentif buruk melalui lembaga yang salah, dapat membawa hasil yang buruk.16 Niat para pendukung negara kesejahteraan tidak relevan dengan hasil dari kebijakan mereka.17 Sebagian besar “filsafat politik”, seperti biasa dipraktikkan, adalah tentang membandingkan satu intuisi tentang benar dan salah dengan intuisi yang lain. Itu, sejujurnya, tidak terlalu membantu tugas menciptakan institusi-institusi yang berfungsi, berkelanjutan, dan adil. Untuk itu kita membutuhkan lebih dari hanya perbandingan intuisi; kita membutuhkan sejarah, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik, bukan hanya teori moral yang dipisahkan dari praktik.
Masa Depan Terancam, tetapi Tidak Hilang
Negara-negara kesejahteraan dewasa ini secara langsung bertanggung jawab atas dua krisis ekonomi besar yang mencengkeram dunia: krisis keuangan global yang telah mengubah tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi negatif di banyak negara dan menghapus aset senilai triliunan dolar, serta krisis utang yang telah mengguncang Eropa dan mengancam akan meruntuhkan beberapa pemerintahan, mata uang, dan sistem keuangan paling kuat di dunia. Bahkan niat terbaik pun dapat menghasilkan akibat yang mengerikan ketika diterapkan melalui insentif dan institusi yang salah. Namun, tidak semua cerita adalah malapetaka dan kesuraman. Kita dapat keluar dari negara kesejahteraan dan utangnya yang menghimpit, birokrasi yang memalukan, dan penjarahan timbal balik. Itu tidak akan mudah. Itu berarti mengumpulkan keberanian untuk menentang kepentingan khusus dan politisi manipulatif. Tapi itu bisa dilakukan dan harus dilakukan. Mereka yang telah berunjuk rasa di jalan menentang “pemotongan anggaran” (biasanya hanya memotong tingkat kenaikan pengeluaran) sedang menentang aritmatika. Anda tidak dapat terus menambahkan angka negatif ke angka negatif dan mendapatkan hasil positif; jumlahnya tidak bertambah. Kita membutuhkan demonstrasi di jalan-jalan atas nama nalar, menuntut tanggung jawab fiskal, pemangkasan negara, pembebasan dan pemberdayaan orang untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Kita perlu memutar kembali kekuasaan negara agar sebatas melindungi hak-hak kita, bukan berusaha untuk menjaga kita. Kita membutuhkan pengambilan keputusan yang jernih tentang kemampuan negara. Kita perlu mengakhiri negara kesejahteraan.